Jumat, 11 April 2014

HAKI dalam Industri Kreatif di Indonesia

Pengertian Industri Kreatif

Industri Kreatif dapat diartikan sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Industri kreatif juga dikenal dengan nama lain Industri Budaya (terutama di Eropa) atau juga Ekonomi Kreatif. Kementerian Perdagangan Indonesia menyatakan bahwa Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.

Sub-sektor yang merupakan industri berbasis kreativitas di Indonesia berdasarkan pemetaan industri kreatif yang telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia adalah:
  1. Jasa Periklanan
  2. Arsitektur
  3. Senirupa
  4. Kerajinan
  5. Desain
  6. Mode (fashion)
  7. Film
  8. Musik
  9. Seni Pertunjukan
  10. Penerbitan
  11. Riset dan Pengembangan
  12. Software
  13. TV dan Radio
  14. Video game
Pengertian HAKI ( Hak Atas Kekayaan Intelektual )
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. HAKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis.

Secara Umum HAKI dibagi dua yaitu:
  1. Hak Cipta.
  2. Hak Kekayaan Industri, meliputi:
    •  Paten
    • Merek
    • Desain Industri
    • Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 
    • Rahasia Dagang, dan 
    • Indikasi

HAKI dalam Industri Kreatif di Indonesia
 
Maraknya pertumbuhan industri kreatif di Indonesia ternyata tidak hanya memberikan peluang kerja yang semakin besar bagi masyarakat lokal, namun juga diikuti oleh kasus pembajakan buah karya para pekerja kreatif yang semakin hari pergerakannya semakin pesat.
Berbagai macam produk kreatif dari mulai piranti lunak (software), desain, produk fashion, aneka kerajinan, buku, permainan interaktif, film, video, musik, maupun produk kreatif lainnya, menghadapi ancaman yang sama yaitu kasus pembajakan produk ataupun kasus pencurian ide kreatif oleh oknum-oknum yang kurang bertanggungjawab.
Kondisi ini memang cukup memprihatinkan, dimana hasil karya intelektual para pekerja kreatif yang tak ternilai harganya, bisa dibajak dengan begitu mudahnya oleh pihak lain yang ingin mendapatkan untung besar dari tindakan curang tersebut.

Adanya kemajuan teknologi, menjadi salah satu faktor pendukung maraknya tindakan pembajakan. Dengan bantuan teknologi yang semakin modern, para pembajak bisa menduplikasi sebuah merek atau produk dengan sangat mudah. Sehingga tidak heran bila sekarang ini tidak hanya merek besar dari luar negeri saja yang menghadapi kasus pembajakan, namun juga para pekerja kreatif lokal yang sedang merintis kerajaan bisnisnya.

Meskipun begitu, bukan berarti kasus pembajakan bisa dibiarkan merejalela di Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pelaku industri kreatif untuk melindungi karya ciptanya. Yang pertama yaitu melengkapi produk kreatif dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), hal ini penting karena produk kreatif perlu dilindungi dan didokumentasikan untuk meningkatkan nilai tambah produk tersebut. Dalam hal ini, HAKI bisa meliputi hak paten, merek, desain industri, perlindungan integrated circuit, rahasia dagang, indikasi geografis asal barang, dan varietas tanaman.

Selain melengkapi produk kreatif dengan sertifikat HAKI, selanjutnya kita bisa melawan pembajakan dengan meningkatkan kreativitas dalam berkarya. Contohnya saja seperti kreativitas yang diterapkan Dewi “Dee” Lestari ketika meluncurkan novel pertamanya yang berjudul Supernova. Ia sengaja mencetak bukunya dalam dua versi, yang pertama dicetak dengan kertas HVS untuk membidik konsumen kelas atas, dan yang kedua dicetak menggunakan kertas koran untuk membidik konsumen kelas menengah ke bawah. Cara ini sengaja dipilih Dewi untuk melindungi buah karyanya dari para pembajak buku yang belakangan ini juga semakin mewabah di berbagai pelosok daerah.

Sumber : 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar